Tepat di pinggir sungai Batee Iliek, desa Cot Meurak,
kecamatan Samalanga sekitar 1 km dari jalan raya berdiri sebuah dayah yang baru
aktif berjalan selama satu tahun, yaitu Dayah Najmul Hidayah al-Aziziyah. Dayah
ini dipimpin oleh salah seorang alumni LPI MUDI Mesjid Raya Samalanga, Tgk.
Tarmizi M. Daud al-Yusufy. Lokasi dayah ini bertempat persis pada area tempat
berdirinya sebuah dayah yang pernah berkembang pada zaman kerajaan Aceh yang
dikenal sebagai Dayah Meunasah Subung Cot Meurak.
Dayah Meunasah Subung Cot Meurak Samalanga yang diasaskan pada tahun 1703 M,
telah resmi berdiri kembali tanggal 17 Juni 2012 setelah mendapat izin
operasional dari Kemenag Bireuen pada 13 Maret 2012 dengan nama Dayah Najmul
Hidayah Al Aziziyah, Meunasah Subung Samalanga. Dalam catatan sejarahnya, dayah
ini diazaskan dulunya oleh seorang ulama Mekkah, Syeikh Abdussalam Bawarith
Asyi pada tahun 1703 M pada saat kunjungan beliau bersama abangnya Syeikh
Abdurrahim Bawarith Asyi (Tgk. Syik Awe Geutah) ke Aceh pada masa Sultan Badrul
Munir Jamailullail bin Syarif Hasyim (1703-1726).
Kedua intelektual ini pernah belajar di Zabid, Yaman, sebelum ke Mekkah untuk
belajar pada Syeikh Ali ibn Az-Zain Al-Mizjaji yang juga berasal dari
Zabid, Yaman. Syeikh Ali ibn Az-Zain Al-Mizjaji menjabat mufti di Mekkah
menggantikan Syeikh Abdurrauf Al-Fansuri Assingkili yang pulang ke Aceh pada
tahun 1665 M. Pengajian Syeikh Abdussalam dan Syeikh Abdurrahim pada Syeikh Ali
ibn Az-Zain Al-Mizjaji diketahui dari salah satu manuskrip di Awe Geutah, Kabupaten
Bireuen. Di sana terdapat sanad Al-Azkar dan Riyadh al-Shalihin karya Imam
an-Nawawi tentang sanad hadits pengalihan kiblat (hadits musalsal), dan juga
dalam silsilah ratib Haddad yang terdapat di antara lembaran-lembaran manuskrip
di Awe Geutah.
Azyumardi Azra dalam bukunya "Jaringan Ulama" menyebutkan bahwa Syaik
Al-Mizjaji ini seorang guru dari Murthadha Az-Zabidi (wafat 1205 H), pengarang
Taj Al-‘Urus min Jawahir Al-Qamus dan Ithaf As-Sadah Al-Muttaqin syarah Ihya
Ulumuddin. Murthadha Az-Zabidi kemudian merantau ke Mesir dan menjadi ulama
terkemuka di sana. Azra mengakui bahwa Aceh sangat berperan dalam membawa
gagasan pembaharuan Islam di Nusantara.
Di Awe Geutah terdapat sebuah surat yang berdasarkan verifikasi sejarawan Aceh
Nurdin AR. pada tahun 2006 menuturkan surat tersebut ditulis oleh Syeikh
Abdurrahim kepada adiknya Syeikh Abdussalam (Tgk Cot Meurak) yang meminta
adiknya untuk membeli kitab ketika adiknya pulang ke Mekkah. Hal ini
menunjukkan bahwa Syeikh Abdussalam Bawarith Asyi, pernah kembali ke Mekkah
setelah membangun Dayah Meunasah Subung, Samalanga.
Kedatangan kedua anak Syaikh Jamaluddin al-Bawarith dari Zabid Yaman tersebut
merupakan intruksi dari Ali ibn Az-Zain Al-Mizjaji dan Syeikh Ibrahim Kurani
setelah Syeikh Abdurrauf Al Fansuri Assingkili meninggal pada tahun 1695.
Diharapkan dengan kedatangan keduanya dapat melestarikan ajaran-ajaran Syeikh
Abdurrauf. Saat itu mereka tidak hanya berdua saja, tapi juga bersama dengan
tujuan di antaranya Teungku Di Kandang dan Syaikh Daud Ar Rumi.
Sebagaimana diketahui bahwa Syeikh Ali ibn Az-Zain Al-Mizjaji, Syeikh Ibrahim
Kurani, dan Syeikh Abdurrauf Al Fansuri Assingkili adalah murid daripada Ahmad
Qushashi, Ahmad Shinawi, dan `Abd Karim al-Kurani, yang mengembangkan tarekat
Shattariyyah di Haramain. Maka tidak mengherankan kalau sampai sekarang di
kawasan Samalanga dan sekitarnya masih sangat berkembang tariqat Shattariyyah.
Dayah Meunasah Subung Hancur
Pada masa Perang Aceh melawan kolonial Belanda yang dimulai pada tanggal 26 Maret
1873 banyak ulama-ulama yang langsung memimpin sendiri pertempuran, hal ini
mengakibatkan banyak dayah yang terlantar. Salah satu benteng kuat pertahanan
Aceh adalah Batee Iliek Samalanga. Belanda kewalahan mengalahkan benteng Batee
Iliek, sampai pada tahun 1877 Jenderal Van Der Hijden terkena tembakan sehingga
menyebabkan satu matanya buta sshinggal dikenal jenderal bermata satu. Belanda
membutuhkan 28 tahun (1873-1901) untuk dapat mengalahkan benteng Batee Iliek
yang jauhnya hanya 200 meter dari Dayah Meunasah Subung yang diasaskan oleh
Syeikh Abdussalam Bawarith Asyi pada tahun 1703 M.
Ketika benteng Batee Iliek ditaklukkan oleh Van Heutzh pada tahun 1901, dayah
Meunasah Subung yang dipimpin oleh Syeikh Yahyauddin Bin Abdurrahim Bawarith,
cicit Syeikh Abdussalam, turut dihancurkan sehingga seluruh manuskrip dan
kitab-kitab ikut terbakar.
Pada tahun 1930-an, Tgk. H. Abdullah yang pulang dari Mekkah berkeinginan
menghidupkan kembali Dayah Meunasah Subung. Namun Belanda melarangnya dengan
dalil akan bangkit kembali semangat anti Belanda di Samalanga. Belanda sangat
mengawasi apapun gerakan keagamaan di sana yang dianggap dapat mengganggu
stabilitas politiknya. Sejak itu, Dayah Meunasah Subung hanya tinggal
nama dan warisan tanah wakaf dayah hingga di Mekkah di kawasan Syammiyah. Namun
sejak tahun 2008, tanah wakaf itu termasuk wilayah perluasan Masjidil
Haram. Hingga kini, proses ganti rugi tanah masih diproses di Mahkamah Syariah
Mekkah.
Berdasarkan tanah-tanah wakaf yang membudaya di Aceh pada masa lalu hingga
terbentang di Mekkah, kita bisa memahami mengapa Aceh disebut Serambi Mekkah.
Sebab di halaman Masjid Haram terdapat berhektar-hektar tanah wakaf masyarakat
Aceh yang diwakafkan untuk dunia pendidikan seperti asrama sejak masa Chik
Pante Kulu. Budaya wakaf tanah yang dulu sangat dimininati oleh rakyat Aceh
patut dilestarikan karena itu bagian dari amal dari dunia karena dengan
menyumbang harta akan melimpah hingga ke akhirat karena itu ajuran agama.
Kembali aktif
Setelah sekian lama non-aktif, akhirnya dayah ini kembali diaktifkan dan
diresmikan oleh Abu MUDI sendiri pada tanggal 17 Juni 2012 sebagai cabang dari
Yayasan Al-Aziziyah yang ke-175 dengan pimpinan seorang ulama muda
lulusan MUDI Mesjid Raya, Tgk. Tarmizi M. Daud al-Yusufi.
Ulama muda kelahiran tahun 1973 ini merupakan anak salah
satu ulama Aceh Selatan, Tgk. H. Muhammad Daud yang merupakan anak pimpinan
Dayah Babussa'adah Aceh Selatan. Beliau menjadi santri tingkat 'aliyah di Dayah
Mudi pada tahun 1993. Kelebihan dan bakat beliau dalam memahami kitab kuning
sudah terlihat semenjak kecil, hingga akhirnya diangkat menjadi guru di lembaga
tersebut. Karir beliau terus menanjak hingga akhirnya ditunjuk sebagai pengajar
di Balee Beuton ba`da ashar bagi seluruh dewan guru yang sebelumnya diasuh
langsung oleh Abu MUDI sendiri. Kitab yang dikaji dalam halakah tersebut adalah
khusus kitab dalam ilmu alat. Semenjak tahun 2007 sudah beberapa kitab yang
beliau ajarkan sampai khatam seperti Hasyiah Ahmad Shawi fi ilm al-Bayan,
Ghayatul Wushul fi Ushul Fiqh karya Syaikhul Islam Zakaria al-Anshari,
Mushtasfa fi Ushul Fiqh karangan Imam Ghazali dan saat ini kitab yang sedang di
kaji adalah Syarh Syamsiah fi ilm Mantiq. Selain sebagai guru senior, jabatan
penting lain yang pernah beliau duduki di MUDI Ketua Pembinaan Lembaga
Bahtsul Masail (LBH) MUDI Mesjid Raya Samalanga, dan Staf ahli bidang
Mubahatsah Alumni Dayah MUDI Mesjid Raya dalam mengahadapi beragam problematika
yang muncul sekarang ini.
Pada tahun 2012 beliau diminta untuk memimpin Dayah Meunasah Subung yang baru
dibangun kembali yang letaknya tidak jauh dari dayah MUDI sendiri. Walaupun
telah disibukkan mengurus Dayah Najmul Hidayah, beliau masih tetap eskis
mengajar dewan guru di Balee Beuton Dayah MUDI Mesjid Raya. Selain itu juga
sering menggantikan Abu MUDI sebagai pengajar di beberapa majelis pengajian
ketika Abu berhalangan.
Saat ini Dayah Najmul Hidayah yang masih baru lahir kembali, terus didatangi
para santri dari berbagai daerah bahkan juga santri dari luar propinsi Aceh
seperti Jambi. Kehadiran Dayah Najmul Hidayah semakin menambah citra kota
Samalanga sebagai Kota Santri yang merupakan kecamatan yang paling banyak
memiliki Dayah Salafi. - Sumber: www.mudimesra.com
No comments:
Post a Comment