Beberapa
hari yang lalu, seorang perempuan rekan satu ruang kerja dengan saya,
umur beliau 40-an tahun, saya pun memanggil beliau dengan sebutan kakak.
Beliau sengaja mengirimkan sms kepada saya, isi sms beliau adalah
“Hidup adalah belajar. Belajar bersyukur, meski tak cukup, belajar ikhlas mesti tak rela, belajar taat meski agak berat, belajar memahami meski tak sehati, belajar sabar meski tertindas dan terbebani, belajar member meski sedikit, belajar mengasihani meski disakiti, belajar tenang, meski gelisah dan gundah, belajar percaya meski dikhianati, belajar bangkit meski jatuh bangun dan putus asa…!”
Saya
tidak tahu apa maksud sms beliau ini dikirimkan kepada saya, tapi saya
ambil hikmah bahwa beliau sebagai orang yang lebih tua mengajarkan saya
tentang hidup ini lewat smsnya. Saya membaca sms beliau berulang kali,
memahami setiap kata yang penuh makna dan tanda Tanya. Batin saya
berbisik, jika kita harus belajar terus, kapan bisanya? Namun, batin
saya juga berbisik bahwa hidup ini kadang tidak seperti keinginan kita,
kita pingin A yang didapat malah C. batin dan pikiran saya terus
bergejolak menganalisa sms beliau.
Jika
dicermati dengan seksama, hidup memang harus disyukuri meski tidak
cukup, bersyukur bahwa yang Maha Pengasih dan Penyayang masih memberikan
rahmat-Nya kepada kita, walau kadang rahmat itu kita merasa belum
cukup. Susah memang menjadi hamba yang bersyukur, bersyukur dalam segala
ihwal kehidupan, tidak hanya sekedar mengucap Alhamdulillah sebagai
syukur, tetapi syukur yang sebenarnya adalah menempatkan nikmat itu pada
kehendak pemberi nikmat. Demikian salah satu definisi yang pernah saya
dapatkan saat nyantri di Pesantren.
Harus
diakui bahwa hidup kita penuh dengan nikmat, andai satu detik saja
nikmat udara yang kita hirup dihentikan maka kitapun akan mengucapkan
selamat tinggal pada dunia ini. Banyak sudah nikmat yang sudah kita
konsumsi, namun apakah sesuai dengan syukur kita kepada pemberi nikmat.
Saya teringat sebuah kisah saat suatu malam Ainsyah terbangun dari
tidurnya, dan mendapati Rasulullah tidak lagi berbaring di sampingnya,
beliau melihat Rasulullah sedang melaksanakan shalat. Usai shalat,
Ainsyah bertanya kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, mengapa engkau
rajin beribadat, padahal Allah telah mengampuni dosa-dosa engkau, dan
memelihara mu ya Rasulullah? Rasulullah menjawab “Alaisa an akuna a’bdan
syakura (apakah saya tidak boleh menjadi hamba yang bersyukur)” kurang
lebih begitulah kisahnya.
Bercermin
dari kisah ini, Rasulullah merupakan habibullah, orang yang dijamin
masuk surga, ibadatnya luar biasa sebagai manivestasi syukurnya kepada
Allah SWT. Namun, bagaimana dengan kita, apakah juga demikian, bagaimana
kuantitas dan kualitas ibadat kita? Pertanyaan ini hanya pribadi kita
masing-masing yang mampu menjawabnya, yang pasti kita harus bersyukur,
sebab syukur itu adalah sebuah ukuran yang akan menakar iman dan
ketakwaan kita kepada Allah. Ya Rabb, jadikanlah kami hamba-hamba-Mu
yang pandai bersyukur.
Kembali
ke sms kakak yang sekantor dengan saya, salah satu kalimat sms beliau
adalah belajar ikhlas meski tak rela. Saya tidak mampu melukiskan
keikhlasan itu bagaimana, bagaimana wujudnya, dan bagaimana pula
mengukur bahwa seseorang itu ikhlas, sebab kata Tengku saya bahwa ikhlas
itu adalah persoalan hati, hanya kita dan Alllah yang tahu. Jika mulut
kita mengatakan “saya ikhlas” tetapi hati kita masih pamrih dan riya
maka itu belumlah dinamakan ikhlas, atau mungkin juga mulut kita
mengatakan “saya tidak ikhlas” tetapi hati kita tulus karena Allah, itu
sudah dihukumkan ikhlas. Sukar untuk memvonis bahwa orang itu ikhlas.
Ikhlas
adalah hal yang memang mudah dilafalkan namun susah diterjemahkan dalam
kehidupan, saat iblis dikutuk oleh Allah SWT, iblis berjanji akan
menggoda anak Adam sebagai temanya dalam neraka, Allah memepersilahkan
iblis menggoda hamba-Nya kecuali hamb-hamba yang ikhlas, demikian kisah
ini disebutkan dalam Al-Qur’an, tapi saya tidak hafal tepatnya dimana
ayat tersebut. Kita berharap semoga tutur kita ikhlas, perbuatan ikhlas,
dan bahkan kemalangan yang ditimpakan oleh Allah kita pun ikhlas untuk
menerimaanya. Kalau di kaitkan, syukur kita kepada Allah akan berbanding
lurus dengan tingkat keikhlasan kita kepada Allah SWT. Jika syukur kita
berkualitas maka akan mempengaruhi kualitas ikhlas kita (wallahu a’lam
bisshawab).
Selanjutnya
sms beliau itu belajar taat meski agak berat. Memang jalan kebaikan
selalu ada rintangannya, jalan keburukan selalu indah dan mulus
jalannya, seperti dilagukan oleh Raja Dangdut Rhoma Irama. Sebenarnya,
ketaatan harus kita tradisikan dalam kehidupan, taat mematuhi perintah
Allah, taat menjunjung tinggi amaran Rasulullah, itu berat memang tapi
harus kita tradisikan dalam kehidupan ini. Jika ketaatan telah menjadi
tradisi maka berat tidak akan terasa lagi. Perlu kita catat, bahwa
jangan sampai kita taat kepada makhluk yang menyebabkan maksiat kepada
khaliq, bahkan dalam Agama diajarkan bahwa seorang anak diperintahkan
untuk tidak taat kepada orang tua yang mengajak kepada kekufuran. Namun
demikian, agama memerintahkan wasahibhuma fiddunya ma’rufa (dan
bergaulah dengan keduanya (orangtua) di dunia dengan cara yang makruf).
Sumber. mandokapluk.blogspot.com
No comments:
Post a Comment