Lem Blang Jreun |
Oleh: Tgk. Muslem Hamdani
Alumni MUDI Mesra Samalanga
Pengajar Dayah Mahyal Ulum Al-Aziziyah Sibreh
Pengurus GP. Ansor Aceh
Asal Dan Tujuan Badan Dayah
Lahirnya Badan
Pembinaan Pendidikan Dayah (BPPD) Aceh melalui Qanun No 5 tahun 2008 secara pragmatis menjadi sprit baru bagi kalangan
dayah dalam mengekspansikan diri kearah yang lebih baik dan maju, hal itu
sesuai dengan tujuan lahirnya Badan dayah yaitu untuk mempercepat
pembangunan lembaga pendidikan dayah dan
peningkatan SDM dayah kearah yang lebih baik dan bagus. Berdasarkan
diskusi penulis dengan beberapa ulama dayah yang penulis asumsi termasuk para
pejuang lahirnya badan tersebut. menyimpulkan bahwa kehadiran badan dayah
sebagaimana yang di perjuangkan oleh para ulama
terkesan telah sirna.
Dari hasil diskusi-diskusi tersebut penulis
menyimpulkan bahwa tujuan dasar para ulama mendirikan BPPD secara umum adalah
untuk pemberdayaan dayah tradisional secara maksimal, sebagaimana paparan
Sekjen GAMNA (Serambi Indonesia 2014/01/04) “dinilai mulai menyimpang
dari tujuan awal pendiriannya. Penyimpangan itu terlihat dari program tahunan BPPD
yang tidak lagi fokus pada dayah salafi (tradisional).” kenapa pesantren tradisional tidak disebutkan dayah
terpadu, Pesantren Moderen bahkan boarding school?, karena secara administrasi
dayah terpadu berada dibawah payung kementrian agama dan dinas pendidikan,
mereka memiliki support dana melalui pendidikan formal, fasilitas gedung,
tunjangan guru dan lain sebagainya, berbeda dengan dayah tradisional dimana
pengelolaannya hanya bertumpu pada swadaya masyarakat.
Lahirnya ide
mendirikan lembaga yang mengurusi dayah secara kusus salah satunya adalah lahirnya
Perda No. 6 tahun 2000 tentang penyelenggaraan Pendidikan pasal 1 ayat
17 disebutkan bahwa Dayah adalah lembaga pendidikan yang menyelenggarakan
pendidikan Islam dengan sistem pondok/rangkang yang diselenggarakan oleh
Pemerintah Daerah, Yayasan/perorangan yang dipimpin oleh Ulama Dayah. Pasal 15
ayat 3 disebutkan pula bahwa Pemerintah berkewajiban membina dan mengawasi
kegiatan pendidikan Dayah.
Ketika Perda
tersebut telah disahkan, sedangkan pengelolaan Dayah sebagai sebuah pendidikan
yang telah diakui pemerintah bagaikan anak tiri yang dititipkan pada orang
lain, maksudnya dayah dititipkan ke dinas pendidikan melalui subbag pendidikan
dayah. Melihat pola pengelolaan pada waktu tersebut kurang maksimal, bahkan ketidakjelasan
pendidikan yang dikendalikan oleh Dinas Pendidikan dan Departemen Agama,
disertai tidak adanya prospek jangka panjang dan tidak adanya grand desain yang jelas, maka
beberapa para ulama Aceh menjumpai pemerintah seraya menyampaikan ide-ide
mereka untuk melahirkan sebuah lembaga yang mempayungi dayah.
Realita dan Pil Pahit
Realita
sekarang ini keberadaan Badan Dayah menjadi sebuah dilema bagi dayah-dayah
di Aceh bahkan sampai kepada melahirkan
reaksi dan respons sosial “negatif” pada dayah, hal ini karena kurangnya manajemen dan tata
kelola yang di perankan oleh badan dayah itu sendiri, salah satu dilemanya
adalah kurangnya fanatisme dan sumbangsih masyarakat terhadap dayah jika di
bandingkan tempo dulu sebelum adanya badan dayah, karena dalam asumsi
masyarakat dayah telah mendapatkan banyak bantuan dari badan dayah. Adapun
respon sosial negatif yang timbul karena tidak becusnya pengelolaan program di
badan dayah, masyarakat secara gamblang menvonis kalangan dayah “ka sibok
ngen proposal gadoh ek tren u kanto badan dayah”. Terlalu sibuk dengan
proposal di Badan dayah ini merupakan pil pahit yang harus di telan oleh
kalangan dayah.
Dalam diskusi saya dengan beberapa ulama sepu aceh, saya menanyakan bagaimana semestinya kinerja
badan dayah, dari beberapa yang pernah saya diskusikan memiliki jawaban yang
sama, kita memperjuangkan badan dayah karna kita butuh pelayanan, maka salah
satu program dasar mereka menjemput kelapangan bukan menunggu di meja dinas
seperti sekarang ini. Maka alangkah sayang nya dayah bagaikan pepatah orang aceh
“hudep ngen ma droe saban syiet lagei ngen mak ui”Hidup bersama ibu sendiri
bagaikan hidup bersama ibu tiri
Manajemen Amburadur
Sekalipun badan dayah bisa dikatakan sebagai pelopor lahirnya pelatihan
manajemen dayah namun dalam prakteknya mereka belum mampu mengadopsi apa yang
dikatakan dengan manajemen. Asumsi ini yang pertama terlihat dari mudahnya
lahir dayah-dayah di aceh pasca lahirnya badan dayah, padahal jika kita merujuk
kepada Perda No. 6 tahun 2000 di atas sangat jelas bahwa pimpinan
dayah adalah seorang ulama dayah, tapi kenyataannya..? banyak dayah yang lahir
dan dipimpin oleh bukan ulama dayah, apakah ini yang dinamakan manajemen?
Jika kita melihat saudara kita dijalur pendidikan umum, mereka
menerepkan kriteria dan syarat-syarat yang telah tertuang baik di dalam
undang-undang maupun Perda, misal seorang kepala sekolah menengah minimal harus
memiliki pendidikan strata 1 begitu juga seterusnya. Kedua justifikasi makna
dayah, jika kita melihat historisasi dayah maka terpahami bahwa dayah adalah
lembaga pendidikan islam yang mengajarkan kitab kuning (thurast), jika
subtansial makna dayah demikian maka lembaga pendidikan yang tidak menerapkan
pembelajaran kitab kuning maka tidak bisa dikatagorikan dayah. Namun realita
hari ini….?
Ironisnya hingga hari ini Badan dayah
terlalu sibuk memikirkan hal-hal yang belum saatnya di pikirkan seperti
penyusunan kurikulum, pelatihan manajemen, dan lain sebagainya, tetapi dalam
prakteknya kurikulum hanya sebatas pelatihan untuk menghabiskan anggaran namum
dalam aplikasinya jangankan untuk diterapkan mensosialisasikan pembelajaran
kitab kuning saja belum berasil mereka lakukan.
Kurikulum Dayah
Banyak asumsi bahwa kurikulum yang ada di dayah belum mampu menjawab
persoalan umat di zaman moderen seperti ini, seperti yang di tulis dalam opini
sebelumnya di harian serambi 2011/09/10/ “jika memperhatikan sejarah
dayah di masa lalu, sesungguhnya dayah di Aceh dan Nusantara saat kini ternyata
bukanlah wajah asli dari model dayah masa lampau. Dayah di Aceh dan Nusantara
pada misi kini cenderung hanya menghasilkan ahli fikih saja, ilmu fikih itupun
jika kita telaah lebih lanjut, sebagian dari materi pembelajarannya juga tidak
relevan dengan kebutuhan dunia masa kini. Sebagai contoh, fikih-fikih di dayah
belum mampu memberikan pemahaman kepada para santri tentang bagaimana wujud
ekonomi Islam, bagaimana konsep perbankan Islam, konsep baitul Qiradh dan
sebagainya” merupakan pemahaman yang salah terkesan tergesa-gesa dalam
menyimpulkan sebuah persoalan tanpa
mendalami secara mendalam dan tidak berdasarkan analisa akademik.
Beberapa contoh yang di paparkan
dalam tulisan di atas jika kita teliti lebih jauh maka terlihat bahwa penulis
belum memahami makna dari ekonomi, karena subtansial manusia dalam menjalani
kehidupan tidak dapat dipisahkan dengan ekonomi, maka mengatakan dayah tidak
mengetahui prinsip ekonomi islam secara tidak langsung telah menvonis dayah hari
ini dalam prihal ekonomi lebih mengedepankan ekonomi non islam yang rentang
dengan persoalan riba. Maka sungguh sangat disayangkan jika asumsi semacam ini
jika sempat menvirus ke pemikiran-pemikiran generasi kita, sehingga kedepan
generasi kita salah dalam memahami makna subtansial dayah di aceh
Badan Dayah, Muallaf Dayah
Memberikan lebel Badan Pembinaan
Pendidikan Dayah (BPPD) Aceh dengan lebel Muallaf dayah menurut penulis sangat
beralasan, salah satunya dapat dilihat
dari kinerja para karyawan nya yang masih sangat merasa teraba-raba dalam
melayani dayah, hal ini sebagaimana ungkapan Teuku Zulkhairi dalam Opini
serambi 2013/05/07 “Namun demikian, jika kita melihat umur
Badan Dayah yang masih sangat muda, minimnya konsep pembangunan dayah yang
sesuai dengan harapan banyak kalangan adalah sebuah kewajaran selama mereka
terus mau berbenah, mau mendengar dan mau untuk terus berubah. Badan ini harus diakui
masih meraba-raba di tengah “kegelapan” konsep pembangunan dayah, ditambah lagi
dengan tidak adanya kemauan dan keseriusan Pemerintah.” Artinya secara tidak langsung terpahami bahwa badan dayah
belum kemauan dan keseriusan dalam membangun dayah kenapa demikian karena badan dayah juga bahagian
dari pemerintah, di tambah lagi dengan kebanyakan dari pegawai di badan
tersebut mengenal dayah ketika pertama kali bertugas di instantsi tersebut.
Jika merujuk kepada pendefenisian muallaf dalam islam, Muallaf
adalah orang yang baru masuk Islam dan masih awam dalam Ilmu agama Islam, maka pelebelan muallaf dayah
untuk para pejabat dibadan dayah sangat tepat, karena jauh-jauh sebelum di
tempatkan di Badan dayah, mereka tidak mengenal dayah apalagi mengunjungi dayah.
Maka persoalan demi persoalan yang terjadi serta ketimpangan selama ini di
badan dayah merupakan sebuah hal yang wajar karena mereka masih muallaf, maka
kalangan dayah tidak pernah melakukan demo, unjuk rasa, protes dan lain
sebagainya, karna kalangan dayah
memahami tentang status badan dayah hari ini, agama saja memaafkan kesalahan
yang dilakukan oleh muallaf apalagi kita selaku hambaNya juga pasti
memaafkannya.
Solusi dan Tawaran
Banyaknya kalangan dayah yang telah membuka diri melanjutkan
pendidikannya kejenjang pendidikan umum atau formal sebenarnya menjadi langkah
awal bagi instansi badan dayah dalam membenahinya kearah yang lebih baik, saya
yakin kalangan dayah mampu memberikan yang terbaik untuk komunitasnya sendiri,
tempatkan mereka (dayah) walaupun sebagai pegawai kontrak di jajaran badan
dayah supaya tidak ada lagi asumsi-asumsi bahwa badan dayah masih meraba-raba.
Sebagaimana sabda nabi. Jika urusan diserahkan
bukan kepada ahlinya, maka tunggulah kehancuran itu." (BUKHARI - 6015)
Sungguh benarlah ucapan Rasulullah sholallahu’alaihi wa sallam di atas jika
kita hadapkan dengan kondisi badan dayah hari ini. Jadi hemat penulis badan dayah harus mencoba
merumbuk kembali apa yang paling mendesak dan dibutuhkan oleh dayah, maka
itulah yang di jadikan program prioritas.
No comments:
Post a Comment